ASUHAN KEPERAWATAN ATEROSKLEROSIS
A. Definisi
Penyakit arteri koroner (coronary heart
disease) / Aterosklerosis ditandai dengan adanya endapan lemak yang berkumpul
di dalam sel yang melapisi dinding suatu arteri koroner dan menyumbat aliran
darah.
Endapan lemak (ateroma atau plak)
terbentuk secara bertahap dan tersebar di percabangan besar dari kedua arteri
koroner utama, yang mengelilingi jantung dan menyediakan darah bagi jantung.
Proses pembentukan ateroma disebut ateroklerosis.
Ateroma bisa menonjol ke dalam arteri danmneyebabkan arteri menjadi sempit. Jika ateroma terus membesar, bagian dari ateroma bisa pecah dan masuk ke dalam aliran darah atau bisa terbentuk bekuan darah di dalam permukaan ateroma tersebut.
Supaya bisa berkontraksi dan memompa secara normal, otot jantung (miokardium) memerlukan pasokan darah yang kaya akan oksigen dari arteri koroner. Jika penyumbatan arteri semakin memburuk, bisa terjadi iskemi (berkurangnya pasokan darah) pada otot jantung, menyebabkan kerusakan jantung.
Ateroma bisa menonjol ke dalam arteri danmneyebabkan arteri menjadi sempit. Jika ateroma terus membesar, bagian dari ateroma bisa pecah dan masuk ke dalam aliran darah atau bisa terbentuk bekuan darah di dalam permukaan ateroma tersebut.
Supaya bisa berkontraksi dan memompa secara normal, otot jantung (miokardium) memerlukan pasokan darah yang kaya akan oksigen dari arteri koroner. Jika penyumbatan arteri semakin memburuk, bisa terjadi iskemi (berkurangnya pasokan darah) pada otot jantung, menyebabkan kerusakan jantung.
Penyebab utama dari iskemi miokardial
ada;lah penyakit arteri koroner. Komplikasi utama dari penyekit arteri koroner
adalah angina dan serangan jantung (infark miokardial).
B. Epidemiologi
Penyakit jantung koroner (PJK) telah
menjadi penyebab utama kematian dewasa ini. Badan Kesehatan Dunia (WHO)
mencatat lebih dari 11 7 juta orang meninggal akibat PJK di seluruh dunia pada
tahun 2002. angka ini diperkirakan meningkat 11 juta orang apda tahun 2020.
Di Indonesia, kasus PJK semakin sering
ditemukan karena pesatnya perubahan gaya hidup. Meski belum ada data
epidemiologis pasti, angka kesakitan/kematiannya terlihat cenderungmeningkat.
Hasil survey kesehatan nasional tahun 2001 menunjukkan tiga dari 1.000 penduduk
Indonesia menderita PJK.
Perbaikan kesehatan secara umum dan
kemajuan teknologi kedokteran menyebabkan umur harapan hidup meningkat,
sehingga jumlah penduduk lansia bertambah. Survey di tiga kecamatan di daerah
Jakarta Selatan pada tahun 2000 menunjukkan prevalensi lansia melewati angka
15% yang sebelumnya diperkirakan hanya 7,5% bagi Negara berkembang. Usia lansia
yang didefinisikan sebagai umur 65 tahun ke atas (WHO) ditenggarai meningkatkan
berbagai penyakit degeneratif yang bersifat multiorgan. Prevalensi PJK
(Penyakit Jantung Koroner) diperkirakan mencapai 50% dan angka kematian
mencapai lebih dari 80% yang berarti setiap 2 (dua) orang lansia satu mengidap
PJK danjika terserang PJK maka kematian demikian tinggi dan hanya 20% yang
dapat diselamatkan.
C. Etiologi
Penyakit arteri koroner bisa menyerang
semua ras, tetapi angka kejadian paling tinggi ditemukan pada orang kulit
putih. Tetapi ras sendiri tampaknya bukan merupakan factor penting dalam gaya
hidup seseorang. Secara spesifik, factor-faktor yang meningkatkan resiko terjadinya
arteri koroner adalah :
·
Diet
kaya lemak
·
Merokok
·
Malas
berolah raga
Kolesterol
dan penyakit arteri koroner
Resiko terjadinya penyakit arteri koroner
meningkat padapeningkatan kadar kolesterol total dan kolesterol LDL (kolesterol
jahat) dalam darah. Jika terjadi peningkatan kadar kolesterol HDL (kolesterol
baik), maka resiko terjadinya penyakit arteri koroner akan menurun.
Makanan mempengaruhi kadar kolesterol
total dan karena itu makanan juga mempengaruhi resiko terjadinya penyakit
arteri koroner. Merubah pola makan (dan bila perlu mengkonsumsi obat dari
rokter) bisamenurunkan kadar kolesterol total dankolesterol LDL bisa memperlambat
atau mencegah berkembangnya arteri koroner.
Menurunkan kadar LDL sangat besar keuntungannya bagi seseorang yang memiliki factor resiko berikut :
Menurunkan kadar LDL sangat besar keuntungannya bagi seseorang yang memiliki factor resiko berikut :
·
Merokok
sigaret
·
Tekanan
darah tinggi
·
Kegemukan
·
Malas
berolah raga
·
Kadar
trigliserida tinggi
·
Keturunan
·
Steroid
pria (androgen).
Factor
resiko
Kajian epidemiologis menunjukkan bahwa ada
berbagai kondisi yang mendahului atau menyertai awitanpenyakit jantung koroner.
Kondisi tersebut dinamakan factor resiko karena satu atau beberapa diantaranya,
dianggapmeningkatkan resiko seseorang untuk mengalami penyakit jantung koroner.
Factor resiko ada yang dapat dimodifikasi
(modifiable) dan ada yang tidak dapat dimodifikasi (nonmodifiable). Factor
resiko modifiable dapat dikontrol dengan mengubah gaya hidup atau kebiasaan
pribadi; factor resiko nonmodifiable merupakan konsekuensi genetic yang tidak
dapat dikontrol.
Factor resiko dapat bekerja sendiri atau
bekerja sama dengan factor resiko yang lain. Semakin banyak factor resiko yang
dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan terjadinya penyakit arteri
koroner. Orang yang beresiko dianjurkan untuk menjalani pemeriksaan medis
berkala dan tidak mungkin dengan kemauan sendiri berusaha mengurangi jumlah dan
beratnya resiko tadi
D. Komplikasi
·
Tromboemboli
·
Angina
pectoris
·
Gagal
jantung kongestif
·
Infark
miokardium
E. Patofisiologi
Aterosklerosis dimulai ketika kolesterol
berlemak tertimbun di intima arteri besar. Timbunan ini, dinamakan ateroma atau
plak akan mengganggu absorbsi nutrient oleh sel-sel endotel yang menyusun
lapisan dinding dalam pembuluh darah dan menyumbat aliran darah karena timbunan
ini menonjol ke lumen pembuluh darah. Endotel pembuluh darah yang terkena akan
mengalami nekrotik dan menjadi jaringan parut, selanjutnya lumen menjadi
semakin sempit dan aliran darah terhambat. Pada lumen yang menyempit dan
berdinding kasar, akan cenderung terjadi pembentukan bekuan darah. Halini
menjelaskan bagaimana terjadinya koagulasi intravaskuler, diikuti oleh penyakit
tromboemboli, yang merupakan komplikasi tersering aterosklerosis.
Berbagai teori mengenai bagaimana lesi
aterosklerosis terjadi telah diajukan,tetapi tidak satu pun yang terbukti
secara meyakinkan. Mekanisme yang mungkin, adalah pembentukan thrombus pada
permukaan plak; danpenimbunan lipid terus menerus. Bila fibrosa pembungkus plak
pecah, maka febris lipid akan terhanyut dalam aliran darah dan menyumbat arteri
dan kapiler di sebelah distal plak yang pecah.
Struktur anatomi arteri koroner membuatnya
rentan terhadap mekanisme aterosklerosis. Arteri tersebut terpilin dan
berkelok-kelok saat memasuki jantung, menimbulkan kondisi yang rentan untuk
terbentuknya ateroma.
F. Pemeriksaan Penunjang
Tergantung kebutuhannya beragam jenis pemeriksaan dapat dilakukan
untuk menegakkan diagnosis PJK dan menentukan derajatnya. Dari yang sederhana sampai yang
invasive sifatnya.
1.
Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan
aktifitas listrik jantung atau gambaran elektrokardiogram (EKG) adalah
pemeriksaan penunjang untuk memberi petunjuk adanya PJK. Dengan pemeriksaan ini kita dapat mengetahui apakah
sudah ada tanda-tandanya. Dapat berupa serangan jantung terdahulu, penyempitan
atau serangan jantung yang baru terjadi, yang masing-masing memberikan gambaran
yang berbeda.
2.
Foto
Rontgen Dada
Dari foto roentgen dada dokter dapat menilai
ukuran jantung, ada-tidaknya pembesaran. Di samping itu dapat juga dilihat
gambaran paru. Kelainan pada koroner tidak dapat dilihat dalam foto rontgen
ini. Dari ukuran jantung dapat dinilai apakah seorang penderita sudah berada
pada PJK lanjut. Mungkin saja PJK lama yang sudah berlanjut pada payah jantung.
Gambarannya biasanya jantung terlihat membesar.
3.
Pemeriksaan
Laboratorium
Dilakukan untuk mengetahui kadar trigliserida
sebagai factor resiko. Dari pemeriksaan darah juga diketahui ada-tidaknya
serangan jantung akut dengan melihat kenaikan enzim jantung.
4.
Bila
dari semua pemeriksaan diatas diagnosa PJK belum berhasil ditegakkan, biasanya
dokter jantung/ kardiologis akan merekomendasikan untuk dilakukan treadmill.
Dalam kamus kedokteran Indonesia disebut jentera,
alat ini digunakan untuk pemeriksaan diagnostic PJK. Berupa ban berjalan
serupa dengan alat olah raga umumnya, namun dihubungkan dengan monitor dan alat
rekam EKG. Prinsipnya adalah merekam aktifitas fisik jantung saat latihan.
Dapat terjadi berupa gambaran EKG saat aktifitas, yang memberi petunjuk adanya
PJK. Hal ini disebabkan karena jantung mempunyai tenaga serap, sehingga pada
keadaan sehingga pada keadaan tertentu dalam keadaan istirahat gambaran EKG
tampak normal.
Dari hasil teradmil ini telah dapat diduga apakah seseorang menderita PJK. Memang tidak 100% karena pemeriksaan dengan teradmil ini sensitifitasnya hanya sekitar 84% pada pria sedangka untuk wanita hanya 72%. Berarti masih mungkin ramalan ini meleset sekitar 16%, artinya dari 100 orang pria penderita PJK yang terbukti benar hanya 84 orang. Biasanya perlu pemeriksaan lanjut dengan melakukan kateterisasi jantung. Pemeriksaan ini sampai sekarang masih merupakan “Golden Standard” untuk PJK. Karena dapat terlihat jelas tingkat penyempitan dari pembuluh arterikoroner, apakah ringan,sedang atau berat bahkan total.
Dari hasil teradmil ini telah dapat diduga apakah seseorang menderita PJK. Memang tidak 100% karena pemeriksaan dengan teradmil ini sensitifitasnya hanya sekitar 84% pada pria sedangka untuk wanita hanya 72%. Berarti masih mungkin ramalan ini meleset sekitar 16%, artinya dari 100 orang pria penderita PJK yang terbukti benar hanya 84 orang. Biasanya perlu pemeriksaan lanjut dengan melakukan kateterisasi jantung. Pemeriksaan ini sampai sekarang masih merupakan “Golden Standard” untuk PJK. Karena dapat terlihat jelas tingkat penyempitan dari pembuluh arterikoroner, apakah ringan,sedang atau berat bahkan total.
5.
Kateterisasi
Jantung
Pemeriksaan ini dilakukan dengan memasukkan
kateter semacam selang seukuran ujung lidi. Selang ini dimasukkan langsung ke pembuluh nadi
(arteri). Bisa melalui pangkal paha, lipatanlengan atau melalui pembuluh darah
di lengan bawah. Kateter didorong dengan tuntunan alar rontgen langsung ke
muara pembuluh koroner. Setelah tepat di lubangnya, kemudian disuntikkan cairan
kontras sehingga mengisi pembuluh koroner yang dimaksud. Setelah itu dapat
dilihat adanya penyempitan atau malahan mungkin tidak ada penyumbatan.
Penyempitan atau penyumbatan ini dapat saja mengenai beberapa tempat pada satu
pembuluh koroner. Bisa juga sekaligus mengenai beberapa pembuluh koroner. Atas
dasar hasil kateterisasi jantung ini akan dapat ditentukan penanganan lebih
lanjut. Apakah apsien cukup hanya dengan obat saja, disamping mencegah atau
mengendalikan factor resiko. Atau mungkin memerlukan intervensi yang dikenal
dengan balon. Banyak juga yang menyebut dengan istilah ditiup atau balonisasi.
Saat ini disamping dibalon dapat pula dipasang stent, semacam penyangga seperti
cincin atau gorng-gorong yang berguna untuk mencegah kembalinya penyempitan.
Bila tidak mungkin dengan obat-obatan, dibalon dengan atau tanpa stent, upaya
lain adalah dengan melakukan bedah pintas koroner.
ASUHAN KEPERAWATAN
Pengkajian
a. Aktivitas/ Istirahat.
Gejala : kelemahan,
letih, nafas pendek, gaya
hidup monoton.
Tanda :Frekuensi
jantung meningkat, perubahan irama jantung, takipnea.
b. Sirkulasi
Gejala : Riwayat
Hipertensi, aterosklerosis, penyakit jantung koroner/katup
dan penyakit cebrocaskuler, episode palpitasi.
dan penyakit cebrocaskuler, episode palpitasi.
Tanda : Kenaikan TD,
Nadi denyutan jelas dari karotis, jugularis, radialis, tikikardi, murmur
stenosis valvular, distensi vena jugularis, kulit pucat, sianosis, suhu dingin (vasokontriksi
perifer) pengisian kapiler mungkin lambat/ bertunda.
c. Integritas Ego.
Gejala :Riwayat
perubahan kepribadian, ansietas, factor stress multiple (hubungan, keuangan, yang
berkaitan dengan pekerjaan.
Tanda :Letupan
suasana hat, gelisah, penyempitan continue perhatian, tangisan meledak, otot
muka tegang, pernafasan menghela, peningkatan pola bicara.
d. Eliminasi
Gejala : Gangguan
ginjal saat ini atau (seperti obstruksi atau riwayat penyakit ginjal pada masa
yang lalu.
e. Makanan/cairan
Gejala: Makanan yang
disukai yang mencakup makanan tinggi garam, lemak serta kolesterol, mual,
muntah dan perubahan BB akhir akhir ini (meningkat/turun) Riowayat penggunaan
diuretic
Tanda: Berat badan
normal atau obesitas,, adanya edema, glikosuria.
f. Neurosensori
Gejala: Keluhan
pening pening/pusing, berdenyu, sakit kepala, subojksipital (terjadi saat
bangun dan menghilangkan secara spontan setelah beberapa jam) Gangguan
penglihatan (diplobia, penglihatan kabur, epistakis).
Tanda: Status
mental, perubahan keterjagaan, orientasi, pola/isi bicara, efek, proses piker,
penurunan keuatan genggaman tangan.
g. Nyeri/ ketidaknyaman
Gejala: Angina
(penyakit arteri koroner/ keterlibatan jantung),sakit kepala.
h. Pernafasan
Gejala: Dispnea yang
berkaitan dari kativitas/kerja takipnea, ortopnea,dispnea, batuk dengan/tanpa
pembentukan sputum, riwayat merokok.
Tanda: Distress
pernafasan/penggunaan otot aksesori pernafasan bunyi nafas tambahan
(krakties/mengi), sianosis.
i.
Keamanan
Gejala: Gangguan
koordinasi/cara berjalan, hipotensi postural.
j.
Pembelajaran/Penyuluhan
Gejala: Faktor
resiko keluarga: hipertensi, aterosporosis, penyakit jantung, DM.
Faktor faktor etnik
seperti: orang Afrika-amerika, Asia Tenggara, penggunaan pil KB atau hormone
lain, penggunaan alcohol/obat.
Rencana pemulangan :
bantuan dengan pemantau diri TD/perubahan dalam terapi obat.
Diagnosa, Kriteria hasil
dan Intervensi Keperawatan
Diagnosa 1 .
Resiko tinggi penurunan curah jantung berhubungan dengan vasokontriksi
pembuluh darah.
pembuluh darah.
Kriteria Hasil :
Klien berpartisifasi
dalam aktivitas yang menurunkan tekanan darah / beban kerja jantung ,
mempertahankan TD dalam rentang individu yang dapat diterima, memperlihatkan
norma dan frekwensi jantung stabil dalam rentang normal pasien.
Intervensi
1.
Observasi tekanan darah
(perbandingan dari tekanan memberikan gambaran
yang lebih lengkap tentang keterlibatan / bidang masalah vaskuler).
yang lebih lengkap tentang keterlibatan / bidang masalah vaskuler).
2.
Catat keberadaan, kualitas
denyutan sentral dan perifer (Denyutan
karotis,jugularis, radialis dan femoralis mungkin teramati / palpasi.
Dunyut pada tungkai mungkin menurun, mencerminkan efek dari vasokontriksi
(peningkatan SVR) dan kongesti vena).
karotis,jugularis, radialis dan femoralis mungkin teramati / palpasi.
Dunyut pada tungkai mungkin menurun, mencerminkan efek dari vasokontriksi
(peningkatan SVR) dan kongesti vena).
3.
Auskultasi tonus jantung dan
bunyi napas. (S4 umum terdengar pada
pasien hipertensi berat karena adanya hipertropi atrium, perkembangan S3
menunjukan hipertropi ventrikel dan kerusakan fungsi, adanya krakels,
mengi dapat mengindikasikan kongesti paru sekunder terhadap terjadinya
atau gagal jantung kronik).
pasien hipertensi berat karena adanya hipertropi atrium, perkembangan S3
menunjukan hipertropi ventrikel dan kerusakan fungsi, adanya krakels,
mengi dapat mengindikasikan kongesti paru sekunder terhadap terjadinya
atau gagal jantung kronik).
4.
Amati warna kulit, kelembaban,
suhu, dan masa pengisian kapiler.
(adanya pucat, dingin, kulit lembab dan masa pengisian kapiler lambat
mencerminkan dekompensasi / penurunan curah jantung).
(adanya pucat, dingin, kulit lembab dan masa pengisian kapiler lambat
mencerminkan dekompensasi / penurunan curah jantung).
5.
Catat adanya demam umum /
tertentu. (dapat mengindikasikan gagal
jantung, kerusakan ginjal atau vaskuler).
jantung, kerusakan ginjal atau vaskuler).
6.
Berikan lingkungan yang nyaman,
tenang, kurangi aktivitas / keributan
ligkungan, batasi jumlah pengunjung dan lamanya tinggal. (membantu untuk
menurunkan rangsangan simpatis, meningkatkan relaksasi).
ligkungan, batasi jumlah pengunjung dan lamanya tinggal. (membantu untuk
menurunkan rangsangan simpatis, meningkatkan relaksasi).
7.
Anjurkan teknik relaksasi,
panduan imajinasi dan distraksi. (dapat
menurunkan rangsangan yang menimbulkan stress, membuat efek tenang,
sehingga akan menurunkan tekanan darah).
menurunkan rangsangan yang menimbulkan stress, membuat efek tenang,
sehingga akan menurunkan tekanan darah).
Diagnosa 2
Gangguan rasa nyaman nyeri : sakit kepela berhubungan dengan
peningkatan
tekanan vaskuler cerebral.
tekanan vaskuler cerebral.
Kriteria Hasil :
Melaporkan nyeri /
ketidak nyamanan tulang / terkontrol, mengungkapkan
metode yang memberikan pengurangan, mengikuti regiment farmakologi yang
diresepkan.
metode yang memberikan pengurangan, mengikuti regiment farmakologi yang
diresepkan.
Intervensi
1.
Pertahankan tirah baring selama
fase akut. (Meminimalkan stimulasi /
meningkatkan relaksasi).
meningkatkan relaksasi).
2.
Beri tindakan non farmakologi
untuk menghilangkan sakit kepala, misalnya : kompres dingin pada dahi, pijat punggung
dan leher serta teknik relaksasi. (Tindakan yang menurunkan tekanan vaskuler
serebral dengan menghambat / memblok respon simpatik, efektif dalam
menghilangkan sakit kepala dan komplikasinya).
3.
Hilangkan / minimalkan
aktivitas vasokontriksi yang dapat meningkatkan sakit kepala : mengejan saat
BAB, batuk panjang,dan membungkuk. (Aktivitas yang meningkatkan vasokontriksi
menyebabkan sakit kepala pada adanya peningkatkan tekanan vakuler serebral).
4.
Bantu pasien dalam ambulasi
sesuai kebutuhan. (Meminimalkan penggunaan
oksigen dan aktivitas yang berlebihan yang memperberat kondisi klien).
oksigen dan aktivitas yang berlebihan yang memperberat kondisi klien).
5.
Beri cairan, makanan lunak.
Biarkan klien itirahat selama 1 jam setelah
makan. (menurunkan kerja miocard sehubungan dengan kerja pencernaan).
makan. (menurunkan kerja miocard sehubungan dengan kerja pencernaan).
6.
Kolaborasi dengan dokter dalam
pemberian obat analgetik, anti ansietas, diazepam dll. (Analgetik menurunkan
nyeri dan menurunkan rangsangan saraf
simpatis).
simpatis).
Diagnosa 3
Kurang pengetahuan mengenai kondisi penyakitnya berhubungan dengan
kurangn
Kriteria hasil
1.
Menyatakan pemahaman tentang
proses penyakit dan regiment pengobatan.
2.
Mengidentifikasi efek samping
obat dan kemungkinan komplikasi yang
perlu diperhatikan. Mempertahankan TD dalam parameter normal.
perlu diperhatikan. Mempertahankan TD dalam parameter normal.
Intervensi
1.
Bantu klien dalam
mengidentifikasi factor-faktor resiko kardivaskuler
yang dapat diubah, misalnya : obesitas, diet tinggi lemak jenuh, dan
kolesterol, pola hidup monoton, merokok, dan minum alcohol (lebih dari 60
cc / hari dengan teratur) pola hidup penuh stress. (Faktor-faktor resiko
ini telah menunjukan hubungan dalam menunjang hipertensi dan penyakit
kardiovaskuler serta ginjal).
yang dapat diubah, misalnya : obesitas, diet tinggi lemak jenuh, dan
kolesterol, pola hidup monoton, merokok, dan minum alcohol (lebih dari 60
cc / hari dengan teratur) pola hidup penuh stress. (Faktor-faktor resiko
ini telah menunjukan hubungan dalam menunjang hipertensi dan penyakit
kardiovaskuler serta ginjal).
2.
Kaji kesiapan dan hambatan
dalam belajar termasuk orang terdekat.
(kesalahan konsep dan menyangkal diagnosa karena perasaan sejahtera yang
sudah lama dinikmati mempengaruhi minimal klien / orang terdekat untuk
mempelajari penyakit, kemajuan dan prognosis. Bila klien tidak menerima
realitas bahwa membutuhkan pengobatan kontinu, maka perubahan perilaku
tidak akan dipertahankan).
(kesalahan konsep dan menyangkal diagnosa karena perasaan sejahtera yang
sudah lama dinikmati mempengaruhi minimal klien / orang terdekat untuk
mempelajari penyakit, kemajuan dan prognosis. Bila klien tidak menerima
realitas bahwa membutuhkan pengobatan kontinu, maka perubahan perilaku
tidak akan dipertahankan).
3.
Kaji tingkat pemahaman klien
tentang pengertian, penyebab, tanda dan
gejala, pencegahan, pengobatan, dan akibat lanjut. (mengidentivikasi
tingkat pegetahuan tentang proses penyakit hipertensi dan mempermudahj
dalam menentukan intervensi).
gejala, pencegahan, pengobatan, dan akibat lanjut. (mengidentivikasi
tingkat pegetahuan tentang proses penyakit hipertensi dan mempermudahj
dalam menentukan intervensi).
DAFTAR PUSTAKA
Emergency Cardiovascular Care Program, Advanced Cardiac Life
Support, 1997-1999, American Heart Association.
Ganong F. William, 2003, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 20,
EGC, Jakarta.
Price & Wilson, 2006, Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi 6, Volume I, EGC, Jakarta.
Price & Wilson, 2006, Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi 6, Volume I, EGC, Jakarta.
Guyton & Hall, 1997, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Cetakan I,
EGC, Jakarta.
Noer Sjaifoellah, M.H. Dr. Prof, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam,
jilid I, Edisi ketiga, 1996, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
Smeltzer Bare, 2002, Buku Ajar keperawatan Medikal Bedah Brunner
& Studdarth, edisi 8 , EGC, Jakarta
terimakasih banyak, sangat menarik sekali..
BalasHapushttp://toko-greenworld.com/
Terimakasih telah membantu tugas saya
BalasHapus