Selasa, 05 Mei 2015

ASUHAN KEPERAWATAN STOMATITIS

  ASUHAN KEPERAWATAN STOMATITIS
Definisi Stomatitis
Stomatitis adalah kondisi peradangan pada mulut karena kontak dengan pengiritasi seperti tembakau;defisiensi vitamin; infeksi oleh bakteri, virus atau jamur;atau penggunaan obat kemoterapi (Potter & Perry,2005).
Stomatitis adalah imflamasi mukosa oral, yang dapat meliputi mukosa bukal (pipi) dan labial (bibir), lidah, gusi,l angit-langit dan dasar mulut. (Donna L.Wong dkk).
Stomatitis merupakan infeksi umum yang bisa meluas ke mukosa bukal, bibir dan palatum (William dan wilkins, 2008).
Stomatitis ialah istilah umum yang mengacu pada reaksi inflamasi dan lesi ulseratif dangkal yang terjadi pada permukaan mukosa mulut atau orofaring 7 samapai 14 hari setelah pemberian agens kemoterpai tertentu dan setelah terapi radiasi pada kepala dan leher (Otto, 2003).
Stomatitis aftosa rekuren (SAR) adalah suatu peradangan yang terjadi pada mukosa mulut, biasanya berupa ulser putih kekuningan. Ulser ini dapat berupa ulser tunggal maupun lebih dari satu. SAR dapat menyerang mukosa mulut yang tidak berkeratin yaitu mukosa bukal, labial, lateral dan ventral lidah, dasar mulut, palatum lunak dan mukosa orofaring.
SAR merupakan ulser oval rekuren pada mukosa mulut tanpa tanda-tanda adanya penyakit lain dan salah satu kondisi ulseratif mukosa mulut yang paling menyakitkan terutama sewaktu makan, menelan dan berbicara. Penyakit ini ringan karena tidak bersifat membahayakan jiwa dan tidak menular. Tetapi bagi orang -orang yang menderita SAR dengan frekuensi yang sangat tinggi akan merasa sangat terganggu. Beberapa ahli menyatakan bahwa SAR bukan merupakan penyakit yang berdiri sendiri, tetapi lebih merupakan gambaran beberapa keadaan patologis dengan gejala klinis yang sama. SAR dapat membuat frustasi pasien dan perawat dalam merawatnya, karena kadang-kadang sebelum ulser yang lama sembuh ulser baru dapat timbul dalam jumlah yang lebih banyak.
2.2    Epidemiologi Stomatitis
Prevalensi SAR bervariasi tergantung pada daerah populasi yang diteliti. Angka prevalensi SAR berkisar 15-25% dari populasi penduduk di seluruh dunia. Penelitian telah menemukan terjadinya SAR pada dewasa sekitar 2% di Swedia (1985), 1,9% di Spanyol (2002) dan 0,5% di Malaysia (2000). SAR tampaknya jarang terjadi di Bedouins Kuwaiti yaitu sekitar 5% dan ditemukan 0,1% pada masyarakat India di Malaysia. Namun, SAR sangat sering terjadi di Amerika Utara. Di Indonesia belum diketahui berapa prevalensi SAR di masyarakat, tetapi dari data klinik penyakit mulut di rumah sakit Ciptomangun Kusumo tahun 1988 sampai dengan 1990 dijumpai kasus SAR sebanyak 26,6%, periode 2003-2004 didapatkan prevalensi SAR dari 101 pasien terdapat kasus SAR 17,3%.
SAR lebih sering dijumpai pada wanita daripada pria, pada orang dibawah 40 tahun, orang kulit putih, tidak merokok, dan pada anak-anak.9 Menurut Smith dan Wray (1999), SAR dapat terjadi pada semua kelompok umur tetapi lebih sering ditemukan pada masa dewasa muda. SAR paling sering dimulai selama dekade kedua dari kehidupan seseorang. Pada sebagian besar keadaan, ulser akan makin jarang terjadi pada pasien yang memasuki dekade keempat dan tidak pernah terjadi pada pasien yang memasuki dekade kelima dan keenam.
Epidemiologi stomatitis aftosa rekuren terjadi hampir pada 2%-6% pada populasi orang dewasa yang terinfeksi HIV dan lebih sering terjadi pada anak-anak yang terinfeksi HIV, khususnya disebabkan obat-obatan seperti didanosine (ddI) yang dapat menginduksi terjadinya lesi. (Sufiawati: 2009).
2.3    Klasifikasi Stomatitis
Ada beberapa klasifikasi stomatitis, yaitu:
a.    Mycotic stomatitis
Mycotic stomatitis adalah stomatitis yang disebabkan oleh adanya infeksi mulut atau rongga mulut oleh jamur Candida. Mycotic stomatitis, disebabkan oleh pertumbuhan Candida albicans , yang merupakan penyebab stomatitis yang luar biasa pada anjing dan kucing. Hal ini ditandai dengan adanya bercak putih kekuningan pada lidah atau membran mukosa. Mycotic stomatitis biasanya dihubungkan dengan penyakit mulut yang lain, penggunaan terapi antibiotik yang lama, atau pemberian immunosuppression. Pada mycotic stomatitis sering kali pada jaringan terjadi kemerahan dan timbul ulsor di bagian rongga mulut.
b.    Gingivostomatitis
Gingivostomatitis merupakan infeksi virus pada gusi dan bagian mulut lainnya, yang menimbulkan nyeri. Gusi tampak berwarna merah terang dan terdapat banyak luka terbuka yang berwarna putih atau kuning di dalam mulut.
c.    Denture stomatitis atau Chronic stomatitis
Denture stomatitis adalah suatu istilah yang digunakan untuk menjelaskan perubahan-perubahan patologik pada mukosa penyangga gigi tiruan di dalam rongga mulut. Perubahan-perubahan tersebut ditandai dengan adanya eritema di bawah gigi tiruan lengkap atau sebagian baik di rahang atas maupun di rahang bawah. Budtz-Jorgensenl mengemukakan bahwa denture stomatitis dapat disebabkan oleh bermacam- macam faktor yaitu: trauma, infeksi, pemakaian gigi tiruan yang terus-menerus, oral hygiene jelek, alergi, dan gangguan faktor sistemik. Oleh karena itu, gambaran klinis maupun gambaran histopatologis juga bervariasi, sehingga perawatannyapun perlu dilakukan dengan berbagai cara sesuai dengan kemungkinan penyebabnya.
d.   Aphthous stomatitis
Apthous stomatitis (sariawan) adalah stomatitis yang paling umum sering terjadi. Sariawan ini adalah jenis ulkus yang sangat nyeri pada jaringan lunak mulut, bibir, lidah, pipi bagian dalam, pharing, dan langit-langit mulut halus. Tipe sariawan ini tidak menular. Stomatitis aphtosa ini mempunyai 2 jenis tipe penyakit, diantaranya:
1.    Sariawan akut bisa disebabkan oleh trauma sikat gigi, tergigit, dan sebagainya. Pada sariawan akut ini bila dibiarkan saja akan sembuh dengan sendirinya dalam beberapa hari.
2.    Sariawan kronis akan sulit sembuh jika dibiarkan tanpa diberi tindakan apa-apa. Sariawan jenis ini disebabkan oleh xerostomia (mulut kering). Pada keadaan mulut kering, kuantitas saliva atau air ludah berkurang. Akibatnya kualitasnya pun juga akan berkurang. Penyebab dari xerostomia ini bisa disebabkan gangguan psikologis (stress), perubahan hormonal, gangguan pencernaan, sensitif terhadap makanan tertantu dan terlalu banyak mengonsumsi antihistamin atau sedatif.
Adapun secara klinis stomatitis aphtosa ini dapat dibagi menjadi 3 subtipe, diantaranya:
1.    Stomatitis aphtosa minor (MiRAS)
Sebagian besar pasien menderita stomatitis aphtosa bentuk minor ini. Yang ditandai oleh luka (ulser) bulat atau oval, dangkal, dengan diameter kurang dari 5mm, dan dikelilingi oleh pinggiran yang eritematus. Ulserasi pada MiRAS cenderung mengenai daerah-daerah non-keratin, seperti mukosa labial, mukosa bukal dan dasar mulut. Ulserasi bisa tunggal atau merupakan kelompok yang terdiri atas empat atau lima dan akan sembuh dalam jangka waktu 10-14 hari tanpa meninggal bekas.
2.    Stomatitis aphtosa major (MaRAS)
Hanya sebagian kecil dari pasien yang terjangkit stomatitis aphtosa jenis ini. Namun jenis stomatitis aphtosa pada jenis ini lebih hebat daripada stomatitis jenis minor (MiRAS). Secara klasik, ulser ini berdiameter kira-kira 1-3 cm, dan berlangsung selama 4minggu atau lebih dan dapat terjadi pada bagian mana saja dari mukosa mulut, termasuk daerah-daerah berkeratin. Stomatitis aphtosa major ini meninggalkan bekas, bekas pernah adanya ulser seringkali dapat dilihat penderita MaRAS; jaringan parut terjadi karena keseriusan dan lamanya lesi.
3.    Ulserasi herpetiformis (HU)
Istilah ’herpetiformis’ digunakan karena bentuk klinis dari HU (yang dapat terdiri atas 100 ulser kecil-kecil pada satu waktu) mirip dengan gingivostomatitis herpetik primer, tetapi virus-virus herpes initidak mempunyai peran etiologi pada HU atau dalam setiap bentuk ulserasi aphtosa.
2.4    Etiologi Stomatitis
2.4.1        Etiologi  yang berasal dari keadaan dalam mulut seperti :
a.    Kebersihan mulut yang kurang
Kebersihan mulut berhubungan dengan keadaan gigi pasien. Apabila higiene gigi pasien buruk, sering dapat menjadi penyebab timbulnya sariawan yang berulang.
b.    Makanan atau minuman yang panas dan pedas
Makanan atau minuman yang pedas atau panas dapat berpengaruh terhadap mukosa yang ada didalam mulut yang berfungsi sebagai alat pertahanan dalam melawan infrksi. Selain itu, juga bserpengaruh terhadap bermacam-macam kuman yang merupakan bagian daripada “flora mulut” dan tidak menimbulkan gangguan apapun dan disebut apatogen. Daya tahan mulut dapat menurun karena termik. Jika daya tahan mulut atau tubuh menurun, maka kuman-kuman yang apatogen itu menjadi patogen dan menimbulkan gangguan atau menyebabkan berbagai penyakit/infeksi.
c.    Luka pada bibir akibat tergigit/benturan.
bisa terjadi karena bekas dari tergigit itu bisa menimbulkan ulsersehingga dapat mengakibatkan stomatitis aphtosa.
d.   Infeksi jamur
namun biasanya hal ini dihubungkan dengan penurunan sistem pertahanan tubuh (imuno). Berasal dari kadar imunoglobin abnormal.
e.    Infeksi virus
Stomatitis karena herpes simplex stomatitis (HSV) terjadi sebagai utama atau infeksi tambahan; infeksi tambahan ini adalah sering banyak terjadi. dua tipe HSV dapat diidentifikasikan : HSV tipe 2 dengan penyebab lesi genital dan HSV tipe 1 dengan respon dari lesi nongenital. awal terjadinya virus merupakan hasil utama dari infeksi HSV biasa disebut stomatitis Herpes Akut. keseragaman ukuran gelembung frekuensinya lebih banyak terjadi dilidah, palatum dan mukosa bucal dan labial. gelembung burut terjadi setelah nyeri luka meninggalkan areanya yang mengelilingi sekitar garis tepi erythematous. lesi ditingkat ini biasa terjadi di luka aphathous. area yang terkena luka 10 sampai 14 hari. Gelembung mukosa umumnya disertai dengan inflamasi akut gingiva, saat dengan lesi herpes. Karakteristik lidah dengan keputih-putihan dan klien mengatakan adanya bau busuk di pernafasannya. infeksi HSV utama dikarakteristikkan dari gejala yang timbul dari infeksi termasuk kelemasan, panas dan pembesaran dalam limpa.
f.     Letak susunan gigi atau kawat gigi
Letak dan susunan gigi yang tidak teratur akan sanagt berpengaruh terhadap kebersihan gigi. Dimana terjadi kesulitan dalam proses membersihkan kotoran yang tersangkut atau melekat pada baian yang sulit dijangkau oleh sikat gigi.
2.4.2         Etiologi  yang berasal dari keadaan luar mulut seperti :
a.    Rokok
Asap rokok banyak mengandung zat-zat berbahaya yang dapat menyebabkan berbagai macam penyakit terutama pada stomatitis. Pada penyakit ini, asap rokok yang mengandung zat-zat yang berbahaya masuk ke dalam tubuh melalui mulut yang banyak terdapat mukosa sebagai alat perlindungan tubuh terhadap infeksi. Zat-zat adaptif tersebut yang berasal dari asap rokok menyebabkan kerusakan pada mukosa-mukosa didalam mulut. Sehingga terjadi penurunan imun terutama pada bagian mulut yang menyebabkan mulut rentan terhadap penyakit.
b.    Pada penggunaan obat kumur
Obat kumur yang mengandung bahan-bahan pengering (misalnya alkohol, lemon/gliserin) harus dihindari. Zat-zat seperti alkohol di atas dapat menyebabkan kerusakan yang pada sel-sel mukosa dalam mulut yang bertugas dalam menghasilkan sekret sebagai bentuk pertahanan tubuh.
c.    Reaksi alergi
Sariawan timbul setelah makan jenis makanan tertentu. Jenis
makanan ini berbeda untuk tiap-tiap penderita.
d.   Alergi
bisa terjadi karena kenaikan kadar IgE dan keterkaitan antara beberapa jenis makanan dan timbulnya ulser. Gejala timbul biasanya segera setelah penderita mengkonsumsi makanan tersebut
e.    Faktor psikologis (stress)
Kortison merupakan salah satu hormon utama yang dikeluarkan oleh tubuh sebagai reaksi terhadap stres. Hormon ini menigngkatkan tekanan darah dan mempersiapkan tubuh untuk respon melawan. Akan tetapi apabila stres berlebih akan menyebabkan hormon ini juga dihasilkan berlebih sehingga respon tubuh dalam melawan bakteri berlebih (ada tidaknya bakteri akan bekerja sehingga akan merusak sel-sel yang sehat).
f.     Gangguan hormonal (seperti sebelum atau sesudah menstruasi). Terbentuknya stomatitis aphtosa ini pada fase luteal dari siklus haid pada beberapa penderita wanita.
g.    Kekurangan vitamin C, mengakibatkan jaringan dimukosa mulut dan jaringan penghubung antara gusi dan gigi mudah robek yang akhirnya mengakibatkan sariawan.
h.    Kekurangan vitamin B dan zat besi juga dapat menimbulkan sariawan..
i.      Kelainan pencernaan Gangguan saluran pencernaan
Seperti Chorn disease, kolitis ulserativ, dan celiac disease sering disertai timbulnya stomatitis apthosa.
2.5    Faktor Resiko Stomatitis
Hingga saat kini, penyebab dari stomatitis atau sariawan belum dapat dipastikan, tetapi ada faktor-faktor yang diduga kuat menjadi pemicu atau pencetus terjadinya stomatitis. Beberapa diantaranya adalah:
1.    Trauma
Ulser dapat terbentuk pada daerah bekas terjadinya luka penetrasi akibat trauma. Pendapat ini didukung oleh hasil pemeriksaan klinis, bahwa sekelompok ulser terjadi setelah adanya trauma ringan pada mukosa mulut. Umumnya ulser terjadi karena tergigit saat berbicara, kebiasaan buruk, atau saat mengunyah, akibat perawatan gigi, makanan atau minuman terlalu panas, dan sikat gigi. Trauma bukan merupakan faktor yang berhubungan dengan berkembangnya SAR pada semua penderita tetapi trauma dapat dipertimbangkan sebagai faktor pendukung.
2.    Defesiensi Nutrisi
Wray (1975) meneliti pada 330 pasien SAR dengan hasil 47 pasien menderita defisiensi nutrisi yaitu terdiri dari 57% defisiensi zat besi, 15% defisiensi asam folat, 13% defisiensi vitamin B12, 21% mengalami defisiensi kombinasi terutama asam folat dan zat besi dan 2% defisiensi ketiganya. Penderita SAR dengan defisiensi zat besi, vitamin B12 dan asam folat diberikan terapi subtitusi vitamin tersebut hasilnya 90% dari pasien tersebut mengalami perbaikan.
Faktor nutrisi lain yang berpengaruh pada timbulnya SAR adalah vitamin B1, B2 dan B6. Dari 60 pasien SAR yang diteliti, ditemukan 28,2% mengalami penurunan kadar vitamin-vitamin tersebut. Penurunan vitamin B1 terdapat 8,3%, B2 6,7%, B6 10% dan 33% kombinasi ketiganya. Terapi dengan pemberian vitamin tersebut selama 3 bulan memberikan hasil yang cukup baik, yaitu ulserasi sembuh dan rekuren berkurang.
Dilaporkan adanya defisiensi Zink pada penderita SAR, pasien tersebut diterapi dengan 50 mg Zink Sulfat peroral tiga kali sehari selama tiga bulan. Lesi SAR yang persisten sembuh dan tidak pernah kambuh dalam waktu satu tahun. Beberapa peneliti lain juga mengatakan adanya kemungkinan defisiensi Zink pada pasien SAR karena pemberian preparat Zink pada pasien SAR menunjukkan adanya perbaikan, walaupun kadar serum Zink pada pasien SAR pada umumnya normal.
3.    Alergi dan Sensifitas
Alergi adalah suatu respon imun spesifik yang tidak diinginkan (hipersensitifitas) terhadap alergen tertentu. Alergi merupakan suatu reaksi antigen dan antibodi. Antigen ini dinamakan alergen, merupakan substansi protein yang dapat bereaksi dengan antibodi, tetapi tidak dapat membentuk antibodinya sendiri.
SAR dapat terjadi karena sensitifitas jaringan mulut terhadap beberapa bahan pokok yang ada dalam pasta gigi, obat kumur, lipstik atau permen karet dan bahan gigi palsu atau bahan tambalan serta bahan makanan.29,30 Setelah berkontak dengan beberapa bahan yang sensitif, mukosa akan meradang dan edematous. Gejala ini disertai rasa panas, kadang-kadang timbul gatal-gatal, dapat juga berbentuk vesikel kecil, tetapi sifatnya sementara dan akan pecah membentuk daerah erosi kecil dan ulser yang kemudian berkembang menjadi SAR.
4.    Obat-obatan
Penggunaan obat nonsteroidal anti-inflamatori (NSAID), beta blockers, agen kemoterapi dan nicorandil telah dinyatakan berkemungkinan menempatkan seseorang pada resiko yang lebih besar untuk terjadinya SAR.
5.    Penyakit Sistemik
Beberapa kondisi medis yang berbeda dapat dikaitkan dengan kehadiran SAR. Bagi pasien yang sering mengalami kesulitan terus-menerus dengan SAR harus dipertimbangkan adanya penyakit sistemik yang diderita dan perlu dilakukan evaluasi serta pengujian oleh dokter. Beberapa kondisi medis yang dikaitkan dengan keberadaan ulser di rongga mulut adalah penyakit Behcet’s, penyakit disfungsi neutrofil, penyakit gastrointestinal, HIV-AIDS, dan sindroma Sweet’s.
6.    Merokok
Adanya hubungan terbalik antara perkembangan SAR dengan merokok. Pasien yang menderita SAR biasanya adalah bukan perokok, dan terdapat prevalensi dan keparahan yang lebih rendah dari SAR diantara perokok berat berlawanan dengan yang bukan perokok. Beberapa pasien melaporkan mengalami SAR setelah berhenti merokok. Kekurangan nutrisi, terutama vitamin B12, asam folat dan zat besi. Sariawan juga identik dengan kekurangan vitamin C. Kekurangan vitamin itu memang mengakibatkan jaringan di dalam rongga mulut dan jaringan penghubung antara gusi dan gigi mudah robek yang akhirnya menyebabkan sariawan. Namun, kondisi tersebut dapat diatasi jika kita sering mengonsumsi buah dan sayuran.
7.    Stress
Stres merupakan respon tubuh dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan yang terjadi terus menerus yang berpengaruh terhadap fisik dan emosi. Stres dinyatakan merupakan salah satu faktor yang berperan secara tidak langsung terhadap ulser stomatitis rekuren ini.11 Faktor stres ini akan dibahas dengan lebih rinci pada subbab selanjutnya.
8.    Gangguan Hormonal
Pada wanita, sering terjadinya SAR di masa pra menstruasi bahkan banyak yang mengalaminya berulang kali. Keadaan ini diduga berhubungan dengan faktor hormonal. Hormon yang dianggap berperan penting adalah estrogen dan progesteron.
Dua hari sebelum menstruasi akan terjadi penurunan estrogen dan progesteron secara mendadak. Penurunan estrogen mengakibatkan terjadinya penurunan aliran darah sehingga suplai darah utama ke perifer menurun dan terjadinya gangguan keseimbangan sel-sel termasuk rongga mulut, memperlambat proses keratinisasi sehingga menimbulkan reaksi yang berlebihan terhadap jaringan mulut dan rentan terhadap iritasi lokal sehingga mudah terjadi SAR. Progesteron dianggap berperan dalam mengatur pergantian epitel mukosa mulut
9.    Gangguan Imunologi
Tidak ada teori yang seragam tentang adanya imunopatogenesis dari SAR, adanya disregulasi imun dapat memegang peranan terjadinya SAR. Salah satu penelitian mungungkapkan bahwa adanya respon imun yang berlebihan pada pasien SAR sehingga menyebabkan ulserasi lokal pada mukosa. Respon imun itu berupa aksi sitotoksin dari limfosit dan monosit pada mukosa mulut dimana pemicunya tidak diketahui.16 Menurut Bazrafshani dkk, terdapat pengaruh dari IL-1B dan IL-6 terhadap resiko terjadinya SAR. Menurut Martinez dkk, pada SAR terdapat adanya hubungan dengan pengeluaran IgA, total protein, dan aliran saliva. Sedangkan menurut Albanidou-Farmaki dkk, terdapat karakteristik sel T tipe 1 dan tipe 2 pada penderita SAR.
10.    Penggunaan gigi tiruan yang tidak pas atau ada bagian dari gigi tiruan yang mengiritasi jaringan lunak.
11.    Genetik
Faktor ini dianggap mempunyai peranan yang sangat besar pada pasien yang menderita SAR. Faktor genetik SAR diduga berhubungan dengan peningkatan jumlah human leucocyte antigen (HLA), namun beberapa ahli masih menolak hal tersebut. HLA menyerang sel-sel melalui mekanisme sitotoksik dengan jalan mengaktifkan sel mononukleus ke epitelium.9,16,26 Sicrus (1957) berpendapat bahwa bila kedua orangtua menderita SAR maka besar kemungkinan timbul SAR pada anak-anaknya. Pasien dengan riwayat keluarga SAR akan menderita SAR sejak usia muda dan lebih berat dibandingkan pasien tanpa riwayat keluarga SAR.
2.6    Patofisiologi
Tubuh manusia memiliki pertahanan tubuh alamiah yaitu sistem laktoperoksidase (LP-system) yang mampu mempertahankan tubuh terhadap serangan infeksi mikroorganisme. Sistem laktoperoksidase (LP-system) terdapat pada saliva atau ludah manusia. LP system mempertahankan tubuh dengan cara berfungsi sebagai bakteriostatis terhadap bakteri mulut dan bakteriosid terhadap bakteri (Rensburg:1995).
     Bakteri di dalam mulut dapat berkembang biak tidak terkontrol karena sistem laktoperoksidase yang merupakan pertahanan alami dalam saliva umumnya rusak. Hal ini dikarenakan seringnya mengonsumsi makanan yang mengandung zat-zat kimia (perasa, pewarna, pengawet) bahkan yang memakai zat pembasmi hama/antiseptik dan makanan panas atau pedas. Pemakaian antiseptik pada obat kumur atau pasta gigi juga dapat merusakkan LP system, sebab antiseptik ini bersifat bakteriosid sehingga dapat membunuh semua bakteri yang berada di dalam rongga mulut, yang dapat mengakibatkan sekitar mukosa mulut menjadi rusak kemudian menghasilkan ulserasi local.
Mulut merupakan pintu gerbang masuknya kuman-kuman atau rangsangan-rangsangan yang bersifat merusak. Dilain pihak mulut tidak dapat melepaskan diri dari masuknya berbagai jenis kuman ataupun berbagai pengaruh rangsangan antigenik yang bersifat merusak. Rangsangan perusak yang masuk dalam mulut akan ditanggapi oleh tubuh baik secara lokal atau sistemik. Kemudian secara normal dapat dieleminasi melalui aksi fagositosis. Reaksi tubuh terhadap rangsangan yang merusak itu bertujuan untuk mengurangi atau meniadakan peradangan tersebut. Tetapi kadang-kadang reaksi jaringan amat berlebih, melebihi porsi stimulusnya sendiri sehingga reaksi pertahanan yang tadinya dimaksudkan untuk melindungi struktur dan fungsi jaringan justru berakhir dengan kerusakan jaringan sendiri terutama pada mukosa mulut.
Dalam keadaan psikologis yang terganngu (trauma/stres) terjadi ketidak seimbangan immunologik yang melahirkan fenomena alergi dan defisiensi immunologi dengan efek kerusakan-kerusakan yang menyangkut komponen vaskuler, seluler dan matriks daripada jaringan. Dalam hal ini sistem imun (pelepasan mediator aktif dari aksi-aksi komplemen, makrofag, sel plasma, sel limposit dan leukosit, histamin, serta prostaglandin )yang telah dibangkitkan untuk melawan benda asing oleh porsi reaksi yang tidak seimbang akhirnya ikut merusak jaringan-jaringan sendiri disekitarnya.
Stomatitis dapat terjadi  akibat kekurangan vitamin C. Kekurangan vitamin C dapat mengakibatkan jaringan dimukosa mulut dan jaringan penghubung antara gusi dan gigi mudah robek yang akhirnya mengakibatkan stomatitis.
2.7    Tanda dan Gejala Stomatitis
Awalnya timbul rasa sedikit gatal atau seperti terbakar pada 1 sampai 2 hari di daerah yang akan menjadi sariawan. Rasa ini timbul sebelum luka dapat terlihat di rongga mulut. Sariawan dimulai dengan adanya luka seperti melepuh di jaringan mulut yang terkena berbentuk bulat atau oval. Setelah beberapa hari, luka seperti melepuh tersebut pecah dan menjadi berwarna putih ditengahnya, dibatasi dengan daerah kemerahan. Bila berkontak dengan makanan dengan rasa yang tajam seperti pedas atau asam, daerah ini akan terasa sakit dan perih, dan aliran saliva (air liur) menjadi meningkat.
Manifestasi klinis dari stomatitis secara umum yaitu:
a.       Masa prodromal atau penyakit 1 – 24 jam
Hipersensitive dan perasaan seperti terbakar
b.      Stadium Pre Ulcerasi
Adanya udema / pembengkangkan setempat dengan terbentuknya makula pavula serta terjadi peninggian 1- 3 hari
c.       Stadium Ulcerasi
Pada stadium ini timbul rasa sakit terjadi nekrosis ditengah-tengahnya, batas sisinya merah dan udema tonsilasi ini bertahan lama 1 – 16 hari. Masa penyembuhan ini untuk tiap-tiap individu berbeda yaitu 1 – 5 minggu.
Berdasarkan ciri khasnya secara klinis, SAR dapat digolongkan menjadi ulser minor, ulser mayor, dan ulser hepetiform.
1.      Ulser minor
adalah yang paling sering dijumpai, dan biasanya berdiameter kurang dari 1 cm dan sembuh tanpa menimbulkan jaringan parut. Bentuknya bulat, berbatas jelas, dan biasanya dikelilingi oleh daerah yang sedikit kemerahan. Lesi biasanya hilang setelah 7-10 hari.
2.      Ulser mayor
biasanya berdiameter lebih dari 1 cm, bulat dan juga berbatas jelas. Tipe ini membutuhkan waktu yang lebih lama untuk sembuh, dan dapat menimbulkan jaringan parut setelah sembuh.
3.      Ulser herpetiform
adalah yang paling jarang terjadi dan biasanya merupakan lesi berkelompok dan terdiri dari ulser berukuran kecil dengan jumlah banyak.
Menurut Williams dan Wilkins pada tahun 2008 membagi stomatitis berdasarkan tanda dan gejalanya, yaitu:
a.         Stomatitis hipertik akut
1)   Nyeri sperti terbakar di mulut
2)   Gusi membengkak dan mudah berdarah, selaput lendir terasa perih
3)   Ulse papulovesikular di dalam mulut dan tenggorokan; akhirnya menjadi lesi berkantung keluar disertai areloa ynag memerah, robek, dan membertuk sisik.
4)   Limfadenitis submaksilari
5)   Nyeri hilang 2 sampai 4 hari sebelum ulser sembuh secara keseluruhan
b.        Stomatitis aftosis
1)   Selaput lendir terasa terbakar, kesemutan, dan sedikit membengkak
2)   Ulser tunggal ataupun multipel, berbentuk kecil dengan pusat berwarna keputihan dan berbatas merah
3)   Nyeri berlangsung 7 samapi 10 hari, dan sembuh total dalam 1 sampai 3 minggu.
2.8    Komplikasi
Stomatitis jarang menyebabkan komplikasi yang serius namun dapat terjadi infeksi luas di daerah bibir dan rongga mulut seperti abses dan radang. Dampak gangguan pada kebutuhan dasar manusia, yaitu:
1.      Pola nutrisi : nafsu makan menjadi berkurang, pola makan menjadi tidak teratur
2.      Pola aktivitas : kemampuan untuk berkomunikasi menjadi sulit
3.      Pola Hygiene : kurang menjaga kebersihan mulut
4.      Terganggunya rasa nyaman : biasanya yang sering dijumpai adalah perih.
Ada beberapa komplikasi yang diakibatkan oleh penatalaksanaan medis yaitu:
Komplikasi yang dapat timbula akibat penatalaksanaan medis diantaranya sebagai berikut:
1.    Komplikasi akibat kemoterapi
Mukosa mulut akan menjadi tereksaserbasi ketika agen kemoterapik yang menghasilkan toksisitas mukosa diberikan dalam dosis yang tinggi  atau berkombinasi dengan ionisasai penyinaran radiasi.
2.    Komplikasi akibat radiasi
Penyinaran lokal pada kepala dan leher tidak hanya menyebabkan perubahan histologis dan fisiologis pada mukosa oral yang disebabkan oleh terapi sitotoksik, tetapi juga menghasilkan gangguan struktural dan fungsional pada jaringan pendukung termasuk glandula saliva dan tulang. Dosis tinggi radiasi pada tulang yang berhubungan dengan gigi menyebabkan hipoksia, berkurangnya suplai darah ke tulang, hancurnya tulang bersamaan dengan terbukanya tulang, infeksi, dan nekrosis.
3.    Komplikasi oral
a.    Mukositis
Mukositis merupakan suatu respon inflamasi toksik yang mempengaruhi traktus gastrointestinal dari mulut sampai anus. Tipikal mukositis termanifestasi sebagai suatu eritomatous, lesi seperti terbakar, dan lesi ulseratif.
b.    Infeksi Mukolitis
Mukositis oral dapat berkomplikasi dengan infeksi pada pasien dengan sistem imun yang menurun. Tidak hanya mulut yang dapat terinfeksi, tetapi hilangnya epitel oral sebagai suatu sistem pertahanan barrier terjadi pada infeksi lokal dapat menghasilkan jalan bagi mikroorganisme pada sirkulasi sistemik.
c.    Xerrostomia
Xerrostomia merupakan keadaan berkurangnya sekresi dari glandula saliva. Gejala klinik xerrostomia adalah rasa kering, sensasi terbakar pada rongga oral dan lidah, bibir prcah-prcah, celah atau fissura pada sudut mulut, perubahan pada permukaan lidah, dan peningkatan akan kebutuhan cairan. Xerostomia dapat disebabkan oleh reaksi inflamasi dan efek degeneratif radiasi ionisasi.
2.9    Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan medis untuk mengatasi stomatitis adalah sebagai berikut:
a.        Hindari makanan yang semakin memperburuk kondisi seperti cabai
b.       Sembuhkan penyakit atau keadaan yang mendasarinya
c.        Pelihara kebersihan mulut dan gigi serta mengkonsumsi nutrisi yang cukup, terutama makanan yang mengandung vitamin 12 dan zat besi
d.       Hindari stress
e.        Pemberian Atibiotik
Harus disertai dengan terapi penyakit penyebabnya, selain diberikan emolien topikal, seperti orabase, pada kasus yang ringan dengan 2 – 3 ulcersi minor. Pada kasus yang lebih berat dapat diberikan kortikosteroid, seperti triamsinolon atau fluosinolon topikal, sebanyak 3 atau 4 kali sehari setelah makan dan menjelang tidur. Pemberian tetraciclin dapat diberikan untuk mengurangi rasa nyeri dan jumlah ulcerasi. Bila tidak ada responsif terhadap kortikosteroid atau tetrasiklin, dapat diberikan dakson dan bila gagal juga maka di berikan talidomid.
f.        Terapi
Pengobatan stomatitis karena herpes adalah konservatif. Pada beberapa kasus diperlukan antivirus. Untuk gejala lokal dengan kumur air hangat dicampur garam (jangan menggunakan antiseptik karena menyebabkan iritasi) dan penghilang rasa sakit topikal. Pengobatan stomatitis aphtosa terutama penghilang rasa sakit topikal. Pengobatan jangka panjang yang efektif adalah menghindari faktor pencetus. Terapi yang dianjurkan yaitu:
1) Injeksi vitamin B12 IM (1000 mcg per minggu untuk bulan pertama dan kemudian 1000 mcg per bulan) untuk pasien dengan level serum vitamin B12 dibawah 100 pg/ml, pasien dengan neuropathy peripheral atau anemia makrocytik, dan pasien berasal dari golongan sosioekonomi bawah.
2) Tablet vitamin B12 sublingual (1000 mcg) per hari. Tidak ada perawatan lain yang diberikan untuk penderita RAS selama perawatan dan pada waktu follow-up. Periode follow-up mulai dari 3 bulan sampai 4 tahun.
2.10 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Penunjang yang digunakan adalah sebagai berikut:
a.       Dilakukan pengolesan lesi dengan toluidin biru 1% topikal dengan swab atau kumur sedangkan diagnosis pasti dengan menggunakan biopsi.
b.      Pemeriksaan laboratorium :
1)      WBC menurun pada stomatitis sekunder
2)      Pemeriksaan kultur virus: cairan vesikel dari herpes simplek stomatitis
3)      Pemeriksaan cultur bakteri:  eksudat untuk membentuk vincent’s stomatitis
2.11 Pencegahan
Cara mencegah penyakit ini dengan mengetahui penyebabnya, apabila kita mengetahui penyebabnya diharapkan kepada kita untuk menghindari timbulnya sariawan ini diantaranya dengan :
1.      Menjaga kebersihan mulut
2.      Mengkonsumsi nutrisi yang cukup, terutama yang mengandung vitamin B12, vitamin C dan zat besi
3.      Menghadapi stress dengan efektif
4.      Menghindari luka pada mulut saat menggosok gigi atau saat menggigit makananMenghindari makanan yang terlalu panas atau terlalu dingin
5.      Menghindari makanan dan obat-obatan atau zat yang dapat menimbulkan reaksi alergi pada rongga mulut


KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A.    Pengkajian
Pengkajian somatitis selalu berhubungan dengan stadium dari stomatitis.Pada stadium awal pasien mengeluh nyeri local seperti terbakar.Pada stadium pre-ulserasi pasien mengeluh adanya pembengkakan, pada pemeriksasan fisik didapatkan adanya udema / pembengkakan setempat dengan terbentuknya macula papula.Pada stadium ulserasi, pasien mengeluh nyeri seperti ditusuk-tusk dan raa terbakar.Pada pemeriksaan fisik didapatkan nekrosis di tengah-tengahnya, batas sisanya merah dan edema (Gambar 4.18).kondisi ada stadium ini memberikan manifestasi nyeri dan penurunan intake nutrisi oral.
Pengkajian lain yang mendukung adalah pengkajian psikosial, meliputi sosial stress psikologis, stress fisik, misalnya penyakit sistemik yang berat, gata hidup (alkohol, perokok), riwayat penggunaan obat penekan siswam imun jangka panjang seperti steroid, obat antibiotik jangka panjang, serta pemberian.
B.     Diagnosis Keperawatan
1.      Nyeri berhubungan dengan serabut saraf sekunder dari respons inflamasi local.
2.      Perubahan mukosa oral berhubungan dengan tidak efektif higienis oral sekunder nyeri.
3.      Resiko kekambungan berhubungan tidak adekuat cara penangannya, ketidaktahunan predisposisi penyebab
C.    Rencana Keperawatan
Perubahan membranmukosa oral berhubungan dengan tidak efektifnya higiensi oral sekunder nyeri.
-          Pasien mampu menjelaskan kembali pendidikan kesehatan yang diberikan.
-          Pasien mampu mendemonstrasikan cara atau teknik dalam meningkatkan kondisi membrane mukosa.
Intervensi
Rasional
Kaji tingkat pengetahuan pasien tntang cara dan teknik peningkatan kondisi membrane mukosa.
Tingkat pengetahan dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi pasien. Perwat menggunakan pendekatan yang sesuai dengan kondisi individu pasien. Dengan mengetahui tingkat pengetahuan tersebut, peraat dapat lebih terarah dalam memberikan pendidikan yang sesuai0 dengan pengetahuan pasien secara efisien dan efektif.
Anjurkan pemakaian obat kumur.
Pemakaian obat kumur antibakteri untuk mengurangi pertumbuhan bakteri dalam mulut misalnya obat kumur yang mengandung chlorhexidine. Lakukan konsultasi terlebih dahulu dengan dokter gigi anda dalam penggunaan obat kumur tersebut.
Instruksikan untuk berhenti merokok
Para perokok mempunyai resiko yang besar untuk perkembangan gangguan atau penyakit pada gigi dan peridental menjadi lebih parah dibandingkan dengan bukan perokok
Anjurkan untuk melakukan kunjungan secara teratur ke dokter gigi.
Kontrol setiap 5 bulan sekali untuk kontrol rutin dan pembersihan dapat meningkatkan kebersihan mukosa.
Intervensi kolaboratif
* Pemberian antibiotik
Antibiotik biasanya diberikan untuk menghentikan infeksi pada gusi dan jaringan dibawahnya.
Nyeri berhubungan dengan sensivitas saraf gigi sekunder dari inflmasi local, kerusakan jaringan saraf gigi.
Tujuan: dalam waktu 1 x 24 jam terjadi penurunan tingkat nyeri atau nyeri teradaptis.
Kriteria evaluasi:
-          Pasien menyatakan nyeri berkurang atau teradaptasi.
-          Secara umum pasien terlihat rileks dan tanda ketidaknyamanan pada gigi dan gusi tidak direfleksikan.
Kaji nyeri dengan pendekatanporst
Untuk menentukan intervensi yang sesuai secara individual.
Kaji kemampuan kontrol nyeri pasien
Banyak faktor fisiologi motivasi afektif, kognitif dan emosional mempengaruhi persepsi nyeri.
Lakukan manajemen nyeri keperawatan
·         Istirahat pasien
·         Ajarkan teknik relaksasi pernapasan dalam pada saat nyeri muncul.
·         Ajarkan teknik distraksi pada saat nyeri.
·         Tingkatkan pengetahuan tentang penyebab nyeri dan mengubungkan berapa lama yang akan berlangsung.
Istirahat secara fisiologis akan menurunkan kebutuhan oksigen yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh.
Meningkatkan intake oksigen sehingga akan menunaikannya sekunder dari semua pada area mulut.
Distraksi (pengalihan perhatian) dapat menurunkan stimulus internal.
Pengetahuan yang akan dirasakan membantu mengurangi nyerinya dan dapat membantu mengembangkan kepatuhan pasien terhadap rencana terapeutik.
Kolaborasi dengan dokter, pemberian analgetik.
Analgetik membidi lintasan nyeri sehingga akan berkurang.
Resiko kekambuhan berhubungan dengan adekuat cara penangan, ketidaktahuan predisposisi penyebab.
Tujuan: dalam waktu 1 x 24 jam terjadi penurun resiko kekambuhan.
Kriteria evaluasi.
-          Pasien mampu menjelaskan kembali pendidikan kesehatan yang diberikan.
-          Pasien termotivasi untuk melaksanakan anjuran yang telah diberikan
Intervensi
Rasional
Kaji tingkat pengetahuan pasien tentang cara dan teknik peningkatan kondisi gangguan gigi dan gusi.
Tingkat pengetahuan dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi pasien. Perawat menggunakan pendekatan yang sesuai dengan kondisi individua pasien. Dengan mengetahui tingkat pengetahuan tersebut perawat dapat lebih tearah dalam memberikan pendidikan yang sesuai dengan pengetahuan pasien secara efisien dan efektif.
Cari sumber yang meningkatkan penerimaan informasi.
Keluarga terdekat dengan pasien perlu dilibatkan dalam pemenuhan informasi untuk menurunkan resiko misioterapi terhadap informasi yang diberikan.
Beri informasi tentang perawatan muksa mulut dan gigi
Perawat mengajurkan agar pasien melakukan sikat gigi dua kali sehari pada hari setelah sarapan dan malam hari sebelum tidur.
Beri informasi tentang diet dan nutrisi yang sesuai dengan kondisi individu.
Informasi tentang jenis dan cara penggunaan diet serta nutrisi untuk menurunkan resiko gangguan yang berulang.
Beri penjelasan tentang cara, dosis, dan waktu pemakaian obat-obatan yang telah diresepkan.
Dengan mempraktikan teknik pemakaian obat yang benar akan meningkatkan keberhasilan dalam terapi stomatis.
Anjurkan untuk melakukan pemeriksaan ulang kondisi stomatis tidak sembuh setelah selesai menghabiskan obat.
Menurunkan resiko terjadinya stomatitis yang bersifat rekuren.
D.    Evaluasi
Evaluasi yang diharapkan setelah mendapat intervensi adalah sebagi aberikut.
1.      Terjadi penurunan respon nyeri.
2.      Terjadi peningkatan membrane mukosa oral
3.      Penurunan resiko kekambuhan penyakit.
DAFTAR PUSTAKA
Inayah, Lin. 2004. Asuhan Keperawatan Medikal-Bedah, Edisi 1. Salemba Medika : Jakarta
Muttaqin dan Sari. 2011. Gangguan Gastrointestinal Aplikasi Asuhan Keperawatan MedikalBedah. Salemba Medika : Jakarta.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar